Dusun Wates, Desa Jatisura, kabupaten Majalengka memiliki sejarah panjang konflik tanah. Jepang, ketika menduduki Indonesia di tahun 1942 membangun pangkalan udara di Kecamatan Jatiwangi, Majalengka. Merasa kondisi ketika itu tidak aman, Sayim yang ketika itu menjabat sebagai kepala Desa berinisiatif untuk mengajak warga Dusun Wates Desa Jatisura pindah ke dusun tetangga, tepatnya pada tahun 1943. Seluruh harta benda dibawa serta, termasuk menggotong rumah-rumahnya. Tak lama setelah Jepang dikalahkan sekutu dan pergi dari Indonesia, warga Wates pun pulang untuk kembali menduduki dusunnya, tanah yang sudah turun temurun ditinggali. Namun, tak lama setelah itu, TNI AU mengklaim tanah warga dusun Wates sebagai tanah milik mereka. Akibatnya, hingga saat ini warga Wates yang telah turun temurun hidup di wilayah tersebut kehilangan hak milik atas tanah materialnya. Berbagai upaya dilakukan warga, termasuk terus menerus menghidupi kebudayaan tanah tersebut dengan berbagai tindakan kultural sebagai ungkapan rasa pemilik kebudayaan Dusun Wates.
Badan Kajian Pertanahan, sebuah divisi riset dari Jatiwangi art Factory, akan mengadakan peristiwa pembuatan sertifikat secara mandiri sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas berbagai jerih payah warga Wates untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya, terutama melalui berbagai aktifitas-aktifitas kultural yang menginspirasi, sehingga tanah menjadi lebih bernilai dan bermartabat. Peristiwa ini akan didahului dengan “Menggotong Rumah” yang dilakukan oleh warga secara beramai-ramai menuju Dusun Wates, sebagai simbol dari pendudukan kembali tanah Wates. Acara dilanjutkan dengan Istigosah, serta penyerahan “Tumpeng Tanah” dari sesepuh Dusun Wates kepada perwakilan generasi muda, hingga kemudian penyerahan Sertifikat Kebudayaan Tanah untuk setiap KK (Kepala Keluarga).