The 10th International Residency Festival
WEST JAVA-WEST YORKSHIRE COOPERATIVE MOVEMENT
Hadirnya Bandara International Jawa Barat di Majalengka secara langsung menyebabkan kota tersebut terus tumbuh berkembang secara pesat. Tentu saja, terutama di sektor ekonomi. Sebagai kota penyangga satu-satunya bandara di Jawa Barat, Majalengka menjadi kota yang strategis untuk keperluan bisnis. Hamparan tanah kosong yang 10 tahun lalu marak kita temui, kini menjelma menjadi bangunan-bangunan pabrik yang kokoh, yang jumlahnya semakin hari terus bertambah. Lanskap Majalengka yang secara visual berubah tersebut, diikuti oleh perubahan laku warganya. Majalengka bergerak menjadi urban, dengan bertambahnya pendatang . Tak heran, mantan Bupati Majalengka periode yang lalu dengan gamblang mengatakan bahwa di wilayahnya Ekonomi adalah Panglima. Majalengka menjadi lahan yang terbuka bagi investor untuk menginvestasikan dananya ke dalam sektor teknologi industri. Majalengka dengan sangat pasti bergerak menuju sebuah kota industri.
Kota industri merupakan sebuah masa yang tak asing bagi ingatan warga Eropa. Masa di mana masyarakat menggantungkan diri sepenuhnya pada ekonomi berbasis teknologi industri. Di Inggris misalnya, tempat bermulanya revolusi industri, bangunan-bangunan pabrik tekstil yang megah namun tak terpakai, merupakan pemandangan yang umum. Bangunan-bangunan tersebut menjadi saksi bagi pergulatan para imigran yang datang berbondong ke Inggris untuk mengadu nasib. Pada perjalanannya, di kawasan seperti ini, industri tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tapi juga menjadi laku hidup yang terkait dengan lanskap sosial dan politik, yang kemudian menjelma menjadi material kebudayaan. Seperti di Jatiwangi yang memiliki kontes binaraga jebor, di mana pekerja pabrik genting saling unjuk tubuh dan kekuatannya untuk mengangkat genting, di kota Leeds (dan sebagian besar Inggris) terdapat istilah Queen of Industry atau ratu industri. Sosok ratu ini nantinya menjadi duta dari masing-masing pabrik untuk mempromosikan produknya secara nasional. Bagi mereka yang terpilih menjadi ratu, nasib seketika menjadi berubah. Dari buruh yang sering kelelahan karena sebagian besar waktunya dihabiskan di pabrik yang jam kerjanya tak tentu dengan upah yang tak seberapa dan hanya cukup untuk makan, menjadi perempuan yang memiliki kemewahan waktu luang untuk berjalan-jalan mempromosikan produk. Gelar tersebut juga memberikan wanita tersebut akses dan privilese yang tak dimiliki sebagian besar perempuan, yang sebagian besar juga merupakan pekerja di bawah umur, di kota tersebut. Museum Industri Leeds merekam dengan jelas sejarah teknologi dengan pencapaian-pencapaiannya, namun juga sejarah kelam industri dalam memperlakukan buruh-buruhnya. Dari masa-masa ini lah teknologi sinema yang menakjubkan lahir, dan di masa ini pula lah Karl Marx melahirkan karya besarnya yang berbicara mengenai relasi antara manusia dan kapital yang timpang, di bukunya Das Kapital.
Bagi Inggris, kota industri merupakan masa lalu. Sementara bagi Majalengka, dan banyak kota di Asia tenggara, kota industri merupakan masa depan. Persilangan ini yang kemudian hendak diperbincangkan, dieksperimentasikan, diintervensi, dan diimajinasikan dari platform West Java – West Yorkshire Cooperative Movement yang mengambil bentuk berupa festival video, proyek seni, dan ragam kerjasama bilateral dua wilayah. Yang setidaknya memiliki dua titik berangkat, yaitu melalui kota industri dan kultur sinema, yang keduanya merupakan produk dari kemajuan teknologi, yang keduanya menjadi lokus persilangan sejarah dua kota Leeds dan Majalengka.